Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Naib Amirul Haj 1430 H / 2009 M
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Hari ini kita ditakdirkan oleh Allah untuk melakukan wuquf di Arafah sebagai puncak rangkaian ibadah haji. Ibadah haji yang merupakan rukun Islam yang kelima, adalah totalitas ibadah yang mengintegrasikan antara ibadah badaniah (fisik) dan ibadah maliyah (harta). Karenanya, harapan kita, ibadah haji kita semoga mabrur.
Ibadah haji yang mabrur adalah ibadah haji yang diterima oleh Allah SWT. Lebih konkrit Imam Al-Nawawi (w 676 H) mengatakan bahwa ibadah haji yang mabrur adalah ibadah haji yang tidak tercampur sedikit pun oleh dosa. Karenanya, disamping amalan-amalan haji-atau yang lazim disebut manasik-itu harus dikerjakan dengan sempurna sesuai tuntunan Nabi SAW, untuk mencapai haji mabrur harus dipenuhi syarat-syarat dan etika haji seperti berikut ini.
Pertama, uang yang dipakai untuk ongkos naik haji (ONH) harus benar-benar uang yang halal, bukan uang yang haram. Yang dimaksud dengan uang halal disini adalah uang yang diperoleh dengan usaha atau cara-cara yang halal, sedangkan uang yang haram adalah uang yang dihasilkan dengan usaha atau cara-cara yang haram. Hal itu karena sebenarnya – seperti disebutkan dalam disiplin Ilmu Ushul Fiqh – tidak terdapat istilah uang halal atau uang haram, sebab halal atau haram itu tidak berkaitan dengan materi, melainkan berkaitan dengan perbuatan.
Memperoleh uang dengan usaha atau cara yang haram akan mendatangkan dosa, misalnya mencuri, merampok, menipu, korupsi, dan sebagainya. Maka orang yang pergi haji dengan ONH hasil mencuri atau korupsi sama halnya dengan orang bersembahyang dengan pakaian hasil mencuri. Ia berdosa. Orang yang mencuri, misalnya, ia tidak punya hak apa-apa atas harta hasil curiannya itu. Ia justru berkewajiban untuk bertaubat, antara lain dengan menerima hukuman Allah atas pencurian, dan mengembalikan harta itu kepada pemiliknya. Ia sama sekali tidak berhak menggunakan harta itu untuk keperluan apapun, termasuk untuk pergi haji.
Apabila seseorang yang pergi haji itu mendapat biaya dari orang lain, misalnya berupa hadiah atau fasilitas, maka disyaratkan, pihak lain yang memberikan biaya itu benar-benar ikhlas dan rela, bukan karena paksaan, tekanan, manipulasi, dan sebagainya, sehingga kemampuan (istito’ah) yang berasal dari orang lain itu juga benar-benar halal, tidak tercampur unsur dosa dan sebagainya.
Nabi SAW bersabda:
لا يقبل الله صدقة من غلول، ولا صلاة بغير طهور.)رواه الإمام أبوداود(
Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah dari (hasil) ketidakjujuran dan sholat tanpa bersuci. (Hadis riwayat Imam Abu Dawud) Kedua, motivasi dalam menjalankan ibadah haji itu hanyalah semata-mata karena memenuhi perintah Allah, tidak untuk hal-hal yang lain, misalnya ingin disebut Pak Haji atau Bu Haji dan sebagainya. Maaf, disini tidak menggunakan istilah Bu Hajjah, sebab istilah ini salah kaprah. Apabila istilah Hajjah itu digunakan untuk kaum ibu, maka untuk kaum bapak seharusnya disebut Hajj, bukan Haji. Jadi sebutannya, Bapak Hajj, dan Ibu Hajjah. Ini baru betul. Bukan Bapak Haji dan Ibu Hajjah. Dan apabila seseorang yang pergi ke Makkah hanya ingin disebut sebagai seorang haji, maka sulit rasanya ia akan memperoleh haji yang mabrur, karena motivasi bukan karena lillah lagi, atau tidak ikhlas untuk Allah.
Untuk menunjang terwujudnya keikhlasan dalam beribadah haji, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, seseorang yang beribadah haji harus sudah merasa berkewajiban untuk menjalankan ibadah haji. Orang yang belum terkena kewajiban ibadah haji, kemudian ia memaksa-maksa untuk pergi haji, sulit rasanya ia akan mendapatkan haji yang mabrur. Orang haji yang seperti ini biasanya ada faktor lain yang mendorongnya pergi haji, ada faktor lain itu bukan faktor lillah tadi. Kedua, ia perlu menghayati makna-makna filosofis dan pesan-pesan moral yang terkandung dalam semua amalan atau manasik haji. ia perlu mempelajari sejarah dan hikmah-hikmah yang terkandung dalam ibadah ihram, tawaf, sa’i, wuquf di Arafah, melontar jamrah (jamrah, dengan a, artinya batu kecil, bukan jumrah dengan u), mencukur rambut kepala, dan lain-lainnya.
Tanpa menghayati amalan-amalan itu, bisa jadi seorang haji akan mendapatkan kehampaan dalam menjalankan ibadah haji, bahkan boleh jadi ia mempertanyakan hal itu semua, sebab sebagai suatu ibadah semua amalan itu tidak dapat dipahami maksudnya oleh akan manusia. Ia hanya dapat dihayati oleh perasaan manusia. Dan apabila seseorang yang sedang berhaji tidak mendapatkan kesempatan untuk mempelajari sejarah dan hikmah-hikmah amalan tersebut sehingga ia dapat menghayatinya, maka cukuplah baginya melakukan penyerahan total dan loyalitas mutlak bahwa amalan-amalan manasik yang ia lakukan itu hanyalah semata-mata dalam rangka memenuhi perintah Allah, kendati ia tidak memahami maksud amalan-amalan itu.
Ketiga, memelihara etika haji. Pada waktu mengerjakan manasik haji, seorang haji diharuskan untuk beretika haji, antara lain, tidak boleh melakukan rafats (berhubungan seksual, berkata yang jorok, dan sebagainya), fusuq (bermaksiat), jidal (bertengkar), menodai kesucian Tanah Suci Makkah, dan sebagainya. Dalam menjalankan ibadah haji banyak sekali hal-hal yang haram dilakukan, bahkan sebagian larangan itu apabila dilanggar dapat menyebabkan ibadah haji menjadi batal sama sekali. Padahal diluar haji, larangan seperti itu tidak pernah ada. Hal ini tentulah mengandung pesan-pesan tertentu yang tidak selamanya dapat dipahami oleh akal manusia, tetapi dapat dihayati oleh perasaan manusia.
Fath Makkah
Ibadah haji dan umrah diwajibkan kepada umat Islam pada tahun 6 H. Begitulah pendapat yang masyhur di kalangan ulama. Dengan para shahabat, pada tahun itu Nabi saw bermaksud melakukan umrah ke Makkah, namun beliau tidak berhasil memasuki kota Makkah, karena kota Makkah waktu itu masih dikuasai kaum musyrikin. Berdasarkan perjanjian Hudaibiyah dengan kaum musyrikin, Nabi saw diijinkan untuk melakukan umrah pada tahun ke 7 H. dan umrah ini dapat dilakukan Nabi saw pada tahun ke 7 H dan disebut umrah al-Qadha. Pada 12 Ramadhan 8 H, Nabi saw membebaskan kota Makkah melalui operasi damai Fath Makkah. Pada bulan Dzulqa'dah di tahun itu, Nabi saw kemudian melakukan ibadah umrah dari Ji'ranah di luar kota Makkah. Selanjutnya Nabi saw langsung kembali ke Madinah tanpa melakukan ibadah haji, padahal waktu itu kota Makkah sudah dikuasai umat Islam. Pada tahun 9 H, Nabi saw tidak mengerjakan ibadah haji, dan atau umrah. Dan baru pada tahun 10 H, Nabi saw melakukan ibadah haji dan umrah. Pada awal tahun 11 H, beliau wafat. Maka kendati Nabi saw mempunyai kesempatan untuk beribadah haji sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 8, 9, 10 H, beliau melaksanakan ibadah haji hanya satu kali. Dan kendati Nabi saw mempunyai kesempatan untuk beribadah umrah ratusan bahkan mungkin ribuan kali, beliau hanya melakukan umrah sunnah dua kali saja, atau tiga kali dengan umrah yang gagal pada tahun 6 H.
Shahabat Anas bin Malik menuturkan, bahwa Nabi saw melakukan ibadah haji hanya satu kali saja, dan melakukan ibadah umrah empat kali, semuanya dilakukan pada bulan Dzulqa'dah, kecuali umrah yang bersama ibadah haji.
عن قـتادة : سألت أنسًا رضي الله عنه، كَمْ اعتمر النّبيُّ صلى الله عليه وسلم ؟ قال: أربعٌ، عمرةُ الحديبـية في ذي القعدة حيث صدّه المشركون، وعمرةٌ من العام المقبل في ذي القعدة حيث صالحهم، وعمرة الجعرّانة إذ قسم غنيمة - أراه - حُنـينٍ، قـلتُ: كَمْ حـجّ؟ قال: واحدةً. ) رواه البخاري ومسلم(
Dari Qatadah; aku bertanya kepada Anas bin Malik r.a; "Berapa kali Nabi saw beribadah umrah?", Anas menjawab, "Empat kali", yaitu; pertama; umrah Hudaibiyah (6 H) di bulan Dzulqa'dah saat dihalang-halangi kaum musyrikin, kedua; umrah yang dilakukan pada tahun berikutnya (7 H) di bulan Dzulqa'dah, ketiga; umrah Ji'ranah di saat pembagian harta rampasan perang (ghanimah) Hunain. Aku bertanya lagi, "Berapa kali Nabi saw beribadah haji?" Anas menjawab, "Satu kali".(Hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) Tiga Kesempatan
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah, mengapa Nabi saw beribadah haji hanya satu kali saja, padahal beliau mempunyai kesempatan untuk beribadah haji tiga kali? Mengapa Nabi saw hanya beribadah umrah sunnah hanya dua kali saja, atau tiga kali dengan umrah yang gagal, padahal beliau mempunyai kesempatan beribadah umrah puluhan bahkan ratusan kali?
Bandingkan dengan selera kaum muslimin sekarang yang – apabila punya dana – ingin beribadah haji setiap tahun, dan ingin beribadah umrah setiap bulan atau setiap minggu. Dan tampaknya selera seperti ini sudah menjadi gejala bagi sebagian besar umat Islam di mana saja mereka berada.
Prioritas Ibadah Sosial
Sesudah Nabi saw hijrah dan menetap di Madinah, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang menyebabkan Nabi saw lebih memperhatikan tiga hal itu daripada yang lain.
[1] Jihad fi Sabilillah
Ketika masih tinggal di Makkah, Nabi saw belum diwajibkan berjihad untuk melawan orang-orang yang meneror dan mendhalimi beliau, kendati beliau selalu diteror. Bahkan hijrah itu sendiri adalah akibat gencarnya teror atas beliau.
Setelah tinggal di Madinah, beliau diijinkan dan kemudian diwajibkan untuk melawan teror-teror itu, maka terjadilah peperangan. Dan setiap peperangan tentulah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Dan tentu Nabi saw sebagai pemimpin umat lebih memperhatikan masalah ini.
[2] Menyantuni Anak Yatim
Akibat adanya peperangan banyak para shahabat yang gugur sebagai syuhada. Akibat selanjutnya banyak janda-janda dan anak-anak yatim yang terlantar. Ternyata Nabi saw lebih mengutamakan menyantuni para janda dan anak yatim daripada berhaji dan berumrah berulang kali. Bahkan Nabi saw menegaskan;
السّاعي على الأرملة والمسكـين كالمـجاهد في سبـيل الله أو كالّذي يصوم النّهار ويــقوم اللّيل.) رواه البخاري ومسلم(
Penyantun janda dan orang miskin (pahalanya) seperti berjihad fi sabilillah atau seperti orang yang berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari. (Hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)
Tentang menyantuni anak yatim Nabi saw menyatakan ;
أَنا وكافل اليتيم في الجنّة هكذا. وقال: بـإصبعيه السّبابة والوسطى . )رواه البخاري ومسلم(
Aku dan penyantun anak yatim di surga nanti seperti ini. Shahabat Sahal bin Sa'ad mengatakan, "Rasulullah memberi isyarat dengan jari telunjuknya dan jari tengahnya". (Hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim) Dan tentulah surga yang didiami Nabi saw bukanlah surga kelas ekonomi, melainkan surga kelas super VIP. Bandingkan dengan surga yang dijanjikan bagi ibadah haji yang mabrur, hanya disebut surga saja, dan itu pun harus haji yang mabrur. Nabi saw bersabda;
العمرة إلى العمرة كـفّارةٌ لما بينهما والحـجُّ المبـرور ليس له جزاءٌ إلاّ الجـنّة. ) رواه البخاري ومسلم(
Ibadah umrah yang satu dengan ibadah umrah yang lain itu kafarat (penghapus dosa) antara kedua umrah tadi, dan haji yang mabrur tidak ada balasan kecuali surga. (Hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)
[3] Mahasiswa Shuffah
Setelah Nabi saw menetap di Madinah, banyak mahasiswa yang belajar langsung dari Nabi saw dan tinggal di al-Shuffah, salah satu ruangan di Masjid Nabawi. Menurut guru kami Prof. Dr. Muhammad Mustafa Azami, Perguruan al-Shuffah ini merupakan perguruan tinggi pertama dalam Islam. Jumlah mahasiswa al-Shuffah sangat banyak dan fluktuatif. Namun rata-rata ada 400 orang. Mereka tidak punya apa-apa kecuali badan mereka sendiri. Mereka tinggal di Masjid Nabawi, khususnya di al-Shuffah.
Dari mana mereka makan? Nabi saw menganjurkan para shahabat untuk menjamin mereka. Beliau bersabda ;
طعام الواحد يـكفي الإثنـين، وطعام الإثنـين يـكفي الأَربعة.) رواه الإمام مسلم(
(bagi yang mempunyai) satu porsi makanan, (maka hendaknya ia makan) bersama dua orang, dan (bagi yang mempunyai) dua porsi makanan, (maka hendaknya ia makan) bersama empat orang. (Hadis riwayat Imam Muslim) Nabi saw sendiri setiap hari memberi makan tidak kurang 70 orang mahasiswa al-Shuffah. Hanya Sekali
Tiga hal di atas telah menyebabkan Nabi saw tidak mendahulukan ibadah-ibadah sunnah individual (ibadah qashirah), tetapi justru beliau memprioritaskan ibadah-ibadah sosial (ibadah muta'addiyah).
Karenanya, Nabi saw tidak pernah walau sekali beribadah haji sunnah. Nabi saw tidak pernah beribadah umrah pada bulan Ramadhan. Kendati kesempatan untuk beribadah umrah sunnah sampai ratusan, bahkan ribuan kali, Nabi saw hanya beribadah umrah sunnah dua kali saja.
Sementara kita umat yang mengaku sebagai pengikut Nabi saw ingin beribadah haji setiap tahun, ingin beribadah umrah setiap bulan atau setiap minggu. Padahal rata-rata keadaan umat Islam saat ini di segala penjuru dunia sangat memprihatinkan.
700 Juta Muslim Miskin
Prof. Dr. Alaudin al-Za'tari dari Damaskus Syiria, melaporkan sebuah penelitian, bahwa setiap tahun umat Islam sedunia melemparkan dana sebesar 5 milyar dollar Amerika untuk beribadah haji sunnah (tidak wajib). Sementara Harian Umum PELITA memberitakan bahwa umat Islam yang melakukan umrah pada bulan Ramadhan 1429 H / 2008 M mencapai 3.600.000 (tiga juta enam ratus ribu) orang. Apabila setiap orang yang umrah itu mengeluarkan biaya 2.000 dolar Amerika, maka akan terkumpul dana sebesar 7,2 milyar dolar Amerika. Apabila jumlah ini digabungkan dengan yang 5 milyar diatas maka akan terkumpul dana 12,2 milyar dolar Amerika, atau Rp 114,68 triliyun (dengan kurs 1 dolar sama dengan Rp 9.400,-). Menurut catatan FAO (Foods and Agriculture Organization), dunia saat ini masih didiami oleh 830 juta orang yang hidup di bawah garis kemiskinan, yaitu mereka yang berpenghasilan satu hari minus 2 dollar Amerika. Dari jumlah fakir 830 juta itu, 700 juta adalah orang Islam. Sekiranya uang yang hampir Rp 115 triliyun yang digunakan setiap tahun untuk perbuatan yang tidak wajib dan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi SAW, itu dipakai untuk mengentaskan kemiskinan 700 juta orang Islam itu, maka pada suatu saat jumlah orang Islam yang miskin akan sangat kecil. Dalam keadaan umat Islam seperti ini, pantaskah seorang muslim yang kaya setiap tahun pergi ke Makkah untuk melakukan sesuatu yang tidak wajib? Pantaskah mereka bolak-balik umrah ke Makkah? Siapakah gerangan yang menyuruh mereka begitu? Ayat al-Qur'an manakah yang menyuruh agar kita beribadah haji berulang-ulang, sedangkan kondisi umat Islam sedang terpuruk? Hadis manakah yang menyuruh kita bolak-balik umrah, sementara kaum muslimin sedang kelaparan?
Ternyata tidak dapat kita temukan ayat maupun Hadis yang menyuruh umat Islam untuk melakukan hal itu. Bila demikian, maka tidak ada lain, yang menyuruh mereka untuk melakukan hal seperti itu adalah hawa nafsu atas bisikan setan. Maka haji seperti itu layak disebut sebagai haji pengabdi setan, bukan haji yang mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan ternyata perilaku Nabi saw adalah berhaji cukup sekali, berinfak ribuan kali. Atau dengan kata lain, Nabi saw lebih mengutamakan ibadah sosial daripada ibadah individual.
Sekiranya ibadah individual itu lebih utama daripada ibadah sosial, tentu Nabi saw sudah pergi haji berulang kali daripada menyantuni anak yatim. Sekiranya ibadah umrah sunnah itu lebih utama daripada menyantuni fakir-miskin, tentu Nabi saw selalu mondar-mandir ke Makkah, khususnya pada bulan Ramadhan untuk beribadah umrah sunnah. Dan ternyata itu semua tidak pernah terjadi.
Semoga kita dapat mengikuti tuntunan Nabi SAW dalam beribadah, bukan mengikuti bisikan setan melalui hawa nafsu kita.
Sumber : .............
Belum ada tanggapan untuk "Khutbah Wuquf di Arafah 1430 H / 2009 M: IBADAH HAJI DAN KEPEDULIAN SOSIAL"
Posting Komentar