Tak banyak kaum Muslim yang mengenal sosok Ali Akbar. Kalau pun tahu,
ia lebih dikenal sebagai konselor perkawinan, saat lembaga bernama Badan
Penasehat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP-4) masih belum
lama berdiri. Sejak tahun 1973 ia memang bergabung dengan lembaga itu,
setelah pensiun dari segala kesibukannya pada umur 58 tahun.
Di sana ia juga dipercaya menjadi redaktur khusus majalah Nasehat
Perkawinan terbitan BP-4 sampai tahun 1980. Di majalah itulah dia banyak
menulis artikel tentang masalah perkawinan dan kehidupan rumah tangga.
Tulisannya kerap menyajikan resep-resep cinta kasih dalam membina
keutuhan rumah tangga dan kedamainan dalam keluarga. Menurut dia, cinta
kasih adalah cinta yang ditimbulkan Tuhan dalam hati suami istri.
Cinta kasih ini akhirnya menimbulkan perasaan ketenangan dan
ketertraman yang dalam Alquran diistilahkan dengan rasa sakinah. Seperti
dijelaskan dalam firman Allah SWT, "Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
(QS Ar Rum [30]:21)
Ali Akbar memang banyak menyuarakan tentang harmonisasi rumah tangga,
pendidikan seks, dan pembinaan remaja. Ia selalu menekankan bahwa cinta
kasih sangat berbeda dengan cinta birahi yang timbul di hati pria dan
wanita yang saling tertarik satu sama lain. Cinta birahi, kata dia,
bersumber dari nafsu yang muncul karena pengaruh lahiriah atau keindahan
jasmaniah.
Mengenai pendidikan seks bagi remaja, Ali menyatakan bahwa pendidikan
seks boleh diberikan asalkan disertai dengan dasar iman dan pendidikan
agama. Tanpa pendidikan agama, pendidikan seks justru akan menambah
kerusakan moral dan iman. Karenanya tujuan pendidikan seks dalam Islam
adalah hidup bahagia dalam rumah tangga yang akan memberikan sakinah
(ketenangan), mawwadah, cinta kasih, rahmah serta keturunan muslim yang
taat kepada Allah SWT dan selalu mendoakan kedua orangtuanya.
Tentang etika seks dalam Islam, Ali Akbar berpendapat bahwa seks adalah
suatu naluri yang dapat memberikan nikmat bagi manusia dalam rangka
hidup berumah tangga. Sebaliknya, naluri seks yang tak terkendali akan
menyebabkan kehancuran manusia, kegelisahan dan teror, sehingga manusia
tersebut akan melakukan hubungan seks dengan siapa saja tanpa
pernikahan. Padahal agama Islam mengajarkan bahwa hubungan seks hanya
dapat dilakukan melalui pernikahan yang sah.
Segala bentuk hubungan seks di luar nikah atau free-sex, adalah zina
dan hukumnya haram. Bahkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang
mengarah pada zina, Islam melarang laki-laki dan perempuan melaukan
khalwat (berduaan dalam satu ruangan). Pada tahun-tahun itu, gelombang
keterbukaan informasi memang mengalun kencang. Pergaulan muda-mudi mulai
meniru remaja Barat, sementara angka perceraian makin bertambah dari
tahun ke tahun.
Di medan inilah, Ali Akbar ingin berkiprah. Tak hanya melalui tulisan,
ia juga aktif bersuara dari mimbar ke mimbar, bahkan menyediakan menjadi
konsultan perkawinan. Ali Akbar lahir dan besar di lingkungan keluarga
yang kental beragama di kawasan Bukitinggi, Sumatera Barat, tanggal 12
Agustus 1915. Kegiatan mengaji Alquran sampai khatam merupakan awal dari
pendidikan informal keagamaannya di kampungnya sebelum kemudian masuk
madrasah diniyah di surau Syekh Muhammad Jamil Jambek.
Secara bersamaan, ia pun menempuh pendidikan formal. Pertama kali dia
masuk ke HIS di Bukitinggi. Lantas melanjutkan ke Ambachtsschool dan
MULO di kota yang sama. Setamat dari MULO tahun 1934, ia pun meneruskan
pelajarannya ke sekolah dokter di Surabaya hingga 1942. Adapun studi
kedokteran dia rampungkan di Ika Daigaku (Sekolah Dokter Tinggi) di
Jakarta tahun 1943.
Setelah meraih gelar dokternya, dua tahun selanjutnya, Ali Akbar
memulai kariernya sebagai seorang dokter di Painan, Sumbar. Tahun 1948
dia diangkat menjadi anggota Dewan Penasehat Gubernur Militer Sumatera
Tengah dan sekretaris lokal Joint Committe III hingga tahun 1950.
Setelah itu ia ditugaskan sebagai dokter di Kedutaan RI di Arab Saudi
dan ditempatkan di kota Makkah. Di tanah suci inilah Ali Akbar banyak
mendalami ajaran agama Islam.
Tahun 1954 tugasnya di kedutaan selesai dan kembali ke tanah air.
Setahun kemudian, Ali Akbar dipilih menjadi anggota DPR. Sebagai anggota
dewan dia pernah menjadi ketua misi Parlemen RI dalam kunjungan ke Iran
tahun 1955. Di tahun 1956 juga terpilih menjadi wakil ketua misi ulama
Islam pada kunjungan ke Cina.
Begitu lepas dari DPR tahun 1960, seperti ditulis Ensiklopedi Islam,
Ali aktif lagi sebagai pegawai di Departemen Kesehatan dan langsung
ditempatkan di bagian fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Karirnya terus menanjak, antara lain ketika dia diangkat
sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara', selain menjadi
dosen.
Selanjutnya adalah tahun 1966 ketika diangkat sebagai lektor kepala
Ilmu Faal FKUI dan mendapat penghargaan Satya Lencana Kebaktian Sosial.
Di tahun itu juga dia terpilih menjadi ketua Yayasan Rumah Sakit Islam
Indonesia (YARSI) sekaligus merangkap sebagai dekan Sekolah Tinggi
Kedokteran YARSI di Jakarta. Ketika pensiun dari pegawai negeri, ia
aktif di bidang sosial kemasyarakatan. Tokoh kharismatik ini meninggal
dunia di Jakarta pada tanggal 24 Juni 1994.
Sumber : republika.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar