Ammar
Faqih adalah salah seorang ulama yang berasal dari Jawa Timur, pengasuh
Pondok Pesantren Maskumambang, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik. Ia
banyak menulis tentang masalah-masalah Aqidah, Filsafat dan Fiqih dalam
bahasa Arab dan Jawa (Pegon). Antara lain tulisannya adalah Tuhfatul Ummah fil ‘Aqaaid wa Raddi al Mafaasid, yang mendapat sambutan baik dari ulama-ulama di Mesir.
Pemikiran-pemikiran Ammar Faqih, banyak
mendapat pengaruh langsung dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, dan
dari sini membawa pengaruh yang sangat positif terutama dalam pola
penanaman jiwa tauhid di lingkungan Pondok Pesantren Maskumambang
sampai saat ini.
Ammar Faqih adalah cucu dari K.H. Abdul Djabbar, pendiri Pondok Pesantren Maskumambang dari putranya yang bernama K.H. Faqih bin Abdul Djabbar. Ammar Faqih dilahirkan pada tanggal 8 Desember tahun 1902 di Kampung Maskumambang, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, dan meninggal pada hari Selasa malam Rabu tanggal 25 Agustus 1965. Bersama-sama dengan beberapa orang tokoh seperti K.H. Fatah Yasin (mantan Menteri Sosial), K.H. Wahid Hasyim (mantan Menteri Agama), dan beberapa pengasuh Pondok Pesantren di Indonesia yang pernah nyantri di Maskumambang, Ammar Faqih memperoleh pengetahuan agama dari lembaga pendidikan yang diasuh oleh ayahnya. Materi pengajaran, ditekankan pada masalah-masalah Aqidah, Fiqih, Nahwu, Sharaf, Ushul Fiqih, dan Akhlaq. Pada tahun 1925, dalam usia remaja, Ammar Faqih berkesempatan memperdalam pengetahuan agamanya. Ia belajar di Mekah selama lebih kurang dua tahun, yaitu dari tahun 1926 sampai dengan tahun 1928 M. dan pada tahun 1931 M. ia belajar Ilmu Falak kepada K.H. Mansur di Madrasah Falakiyah Jakarta. Kemudian tahun 1943, ia mengikuti latihan para kiai selama 20 hari di Jakarta. Di dalam pengalaman organisasinya –sebelum Ammar Faqih berangkat ke Mekah, atas dasar kemampuan di bidang ilmu yang dimilikinya, ia sudah mendapat kepercayaan untuk memimpin Pondok Pesantren sejak K.H. Faqih bin Abdul Djabbar wafat pada tahun 1937 M. dan pada masa penjajahan Jepang, segala aktivitasnya senantiasa diawasi dan dicurigai. Dan seperti para pemimpin masyarakat yang lain, Ammar Faqih dalam beberapa bulan juga sempat menghuni di dalam penjara Jepang. Pada masa revolusi fisik, kompleks Pondok Pesantren yang dipimpinnya, digunakan sebagai tempat latihan, sekalian digunakan sebagai markas para pejuang bersenjata yang mundur dari daerah Lamongan, Gresik, dan Surabaya. Karena digunakan sebagai markas, segala aktivitas yang berhubungan tentang perang, baik itu dalam mengatur strategi, taktik dan lainnya, semua dilakukan di dalam kompleks Pondok Pesantren ini. Pada masa setelah kemerdekaan, dengan dikeluarkannya Maklumat pemerintah yang memberi kebebasan untuk mendirikan Partai, Ammar Faqih pun tidak ketinggalan dalam organisasi tersebut. Salah satu Partai yang kemudian digelutinya adalah Partai Masyumi. Di dalam Partai ini, Ammar Faqih pertama-tama aktif sebagai pimpinan anak cabang di Dukun. Kemudian pada tahun 1959, ia terpilih sebagai ketua DPRD kabupaten Surabaya (sekarang kabupaten Gresik). Dalam perjalanan organisasi Ammar Faqih selanjutnya, ia ditunjuk sebagai anggota Majelis Syuro Pusat. Namun, setelah dalam tubuh partai tersebut mengalami perpecahan dengan sesama umat Islam, ia lebih baik mengundurkan diri. Dan sampai akhir hayatnya (1965 M.), tenaganya dan hidupnya hanya dicurahkan untuk mengasuh pondok Pesantren. Mengenai pemikiran-pemikirannya Ammar Faqih, masalah-masalah yang sering dilontarkannya adalah hal-hal yang selalu berkaitan dengan aqidah Islamiyah. Dalam menanggapi kemunafikan misalnya, Ammar Faqih mengemukakan empat faktor. Faktor pertama, Iman dan Islam diterjemahkan dengan –istilah bahasa Jawa– Nyandel (percaya tanpa bukti) dan selam atau sunnat (memotong kulit kemaluan). Kedua, Syahadat bagi mereka (orang Islam) yang dipentingkan adalah mengucapkan. Ketiga adalah Istikat disamakan dengan anggapan, dan yang keempat; Ilah diartikan pangeran. Atas dasar kenyataan tersebut, ia berkesimpulan bahwa menghukumi Islam atas sembarang orang dengan alasan pernah nikah di hadapan penghulu adalah tidak benar. Alasan yang dikemukakan Ammar Faqih adalah karena cara seperti itu sekadar mematuhi peraturan pemerintah lagi pula ucapan syahadat tersebut didikte pada saat akan melangsungkan nikah. Dalam masalah filsafat, Ammar Faqih menekankan beberapa masalah. masalah pertama yaitu Burhan. Masalah Burhan sebagai pengkajian masalah akal, menemukan hukum bahwa sesuatu itu dianggap mustahil, atau sesuatu itu dianggap wajib, atau sesuatu itu mungkin (boleh ada dan boleh tidak). Kedua, adalah Musyahadat; hukum yang diterima oleh akal ketika merasakan sesuatu dengan indera. Ketiga adalah Mujarrabat, adalah hukum yang diterima oleh akal dari percobaan yang berulang-ulang, dan keempat, Mutawaafitaat, yaitu hukum yang diterima oleh akal dari berita kenyataan yang tidak dapat dihitung pemberitaannya. Kelima, Hadatsiyah, yaitu hukum yang diterima oleh akal ketika ditampakkan sesuatu dengan panca indera lahir. Dan yang keenam, Mahsuusat, yaitu hukum yang diterima oleh akal menurut keadaan lahir. Dalam masalah Fiqih, dari pemikiran-pemikiran Ammar Faqih menegaskan bahwa orang Islam dapat berpegang pada pemikiran para imam mujtahid dengan tanpa mewajibkan umat Islam untuk taklid kepada salah satu madzhab. Di dalam hidupnya, Ammar Faqih merupakan seorang yang sangat produktif dalam hal penulisan. Banyak karya tulis yang sudah diselesaikannya dan bahkan ada yang sudah dicetak untuk disebarluaskan ke seluruh masyarakat. Di antara karya-karya dari karangannya adalah;
|
Sumber : http://opsi-2.blogspot.com/2011/01/kh-ammar-faqih-maskumambangi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar