Pemerintah RI masih menimbang-nimbang langkah, guna membebaskan 20 WNI anak buah kapal (ABK) MV Sinar Kudus dari cengkeraman bajak laut Somalia. Sempat disebut-sebut, pemerintah bakal menggelar operasi mliter, namun kabar terakhir mengatakan, negosiasi lebih diprioritaskan. Tak mampukah TNI? Yuk, jawabannya kita intip sama-sama.
Sudah sebulan kurang sehari, 20 WNI anak buah kapal (ABK) MV Sinar Kudus berada dalam cengkeraman perompak Somalia, di tengah perairan Teluk Aden. Namun sejauh itu pula, belum ada satu pun berita bahwa Pemerintah RI sudah melakukan tindakan untuk menyelamatkan warganya tersebut. Padahal, para korban sudah mendesak agar segera dilakukan penyelamatan, apapun caranya. “Jangan terlalu banyak berdiplomasi, udahlah action saja. Kita juga udah capek di sini,” ujar Sekjen Persatuan Pelaut Indonesia (PPI) Cabang Tanjung Priok, Ricky Salaka yang menirukan percakapan telepon Kapten Kapal MV Sinar Kudus Slamet Jauhari dengan temannya, di Jakarta, Kamis (14/4). Percakapan Slamet itu dilakukan pada pukul 10.00 WIB pagi tadi dengan seorang temannya yang bernama Toto Sugianto. Dalam percakapan itu, lanjut Ricky, Slamet menceritakan bawa saat ini perompak terlihat kesal dengan tidak adanya titik terang terkait uang tebusan yang diminta. “Pemberontak sedikit marah karena soal nego tapi tidak ada follow-upnya,” kata Ricky. Dalam percakapan itu juga, Slamet menceritakan bahwa di media telah dimunculkan negosiasi dengan pihak pemberontak. Nyatanya, lanjut Slamet, terkait harga tebusan untuk mereka masih belum jelas. “Posisi terakhir mereka ada di anjungan kapal dan mereka tidur di sana,” ucap Ricky. Namun di bagian lain Ricky mengungkapkan, sebagian keluarga dari ABK menolak rencana aksi militer yang akan dilakukan pemerintah dengan alasan keamanan para ABK. Sebagaimana terungkap dari pernyataan Supardi, orangtua Ariyanto(28) mahasiswa Akademi Maritim Yogyakarta (AMY), salah satu sandera di kapal MV Sinar Kudus di perairan laut Arab. Dia ditemui di kediamannya di Dusun Suko, Desa Sewukan, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis(14/4). “Saya kurang setuju operasi militer. Apalagi yang menjadi tanggungannya adalah nyawa anak saya dan 19 temannya yang yang ditahan di kapalnya,” tegas Supardi yang tinggal diradius 10 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Dia berpendapat, dalam operasi militer sudah hampir pasti akan terjadi baku tembak. Paling tidak terjadi tindak kekerasan dan bisa saja jatuh korban jiwa dari pihak ABK yang disandera. “Biarpun sampai saat ini pemerintah memberikan jaminan keselamatan dan perkembangan informasi keberadaan anak saya,” tutur Supardi.
TNI Masih Hebat Sekilas, memang ada keraguan masyarakat RI terhadap kemampuan tentaranya sendiri. Bahkan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro pun melontarkan pernyataan senada. Katanya, penanganan penyanderaan awak kapal MV Sinar Kudus yang dibajak perompak Somalia tak bisa disamakan dengan kasus Korea Selatan. “Situasi yang terjadi waktu itu berbeda dengan posisi kita sekarang,” ujarnya, usai mengikuti rapat di kantor wakil presiden, Rabu (13/4). Pada 21 Januari 2011 lalu, Korea Selatan sukses menyerang pembajak Somalia. Sejak dikabarkan salah satu kapal berbendera Korea Selatan dibajak, pemerintah Korea Selatan langsung mengirim kapal, melacak keberadaan pembajak. Pasukan khusus Angkatan Laut Korea Selatan berhasil menyerbu kapal Samho Jewelry berbendera Korea Selatan yang dibajak dan membebaskan semua sandera. Dua warga negara Indonesia yang bekerja sebagai anak buah kapal turut tersandera dalam kapal yang dibajak. Jadi, benarkah bahwa prajurit-prajurit RI begitu lemahnya, sehingga keder menghadapi perompak Somalia yang notabene kelompok bersenjata tak terlatih dari dunia ketiga? Apalagi sudah muncul tawaran bantuan dari Malaysia yang pernah sukses membebaskan kapalnya dari cengkeraman perompak Somalia. Mabes TNI buru-buru menepis anggapan itu. Mereka menegaskan untuk saat ini belum memerlukan bantuan dari manapun. TNI masih merasa hebat. “Tentara kita kan masih hebat. Tapi kita menghargai tawaran bantuan dari mana pun,” ujar Kapuspen TNI Laksamana Muda TNI Iskandar Sitompul sambil tertawa. Hal itu disampaikan Iskandar di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Kamis (14/3). Lantas, sejauh mana kehebatan TNI dalam menangani masalah seperti itu? Pengamat intelijen, Dynno Chressbon mengatakan, pasukan komando atau pasukan elit TNI sangat mampu menanggulangi aksi-aksi penyanderaan semacam itu. Dia yakin perompak tidak memiliki kemampuan menangkal operasi komando. “Mereka milisi tapi kemampuannya preman. Kalau menurut saya, itu cemen. Serbu saja,” tuturnya. TNI, lanjut Dynno, bisa menerjunkan satu unit pasukan khusus beranggotakan 15 personel gabungan Detasemen Jala Mengkara TNI AL, Detasemen Den Bravo 90 TNI AU, dan Satuan Penanggulangan Teror TNI AD. “Saya yakin satu jam saja cukup, kok,” kata Dynno. Dia lantas menuturkan, untuk memperbanyak pilihan penyelamatan, pemerintah bisa bekerja sama dengan negara-negara ASEAN. Misalnya dengan Singapura, yang selama ini menempatkan kapal militer untuk mengawal kapal-kapal mereka yang melewati Samudra Hindia menuju Eropa. Dynno juga mendesak pemerintah agar menerima tawaran pemerintah India yang mengajak menggelar operasi komando bersama.
Perlu Operasi Militer Mantan Danjen Kopassus (Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus), Prabowo Subianto yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra juga berujar serupa. Dia mengatakan, tingginya kasus perompakan di kawasan perairan Somalia harus diantisipasi dengan cara menempatkan kapal patroli, seperti yang dilakukan negara-negara lain. “Tempatkan Detasemen Jala Mengkara di sana, supaya kita bisa awasi kapal-kapal kita,” tutur mantan menantu mendiang Presiden Soeharto itu. Detasemen Jala Mengkara yang biasa disingkat Denjaka adalah pasukan khusus TNI Angkatan Laut. Di bagian lain, Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, apabila pemerintah memilih opsi militer, maka data intelijen perlu didapatkan terlebih dahulu sebelum operasi digelar. Mantan komandan pertama Detasemen 81 (Den-81) Kopassandha (sekarang, Satuan Satuan 81/Penanggulangan Teror atau Sat-81/Gultor Kopassus) mengungkapkan, TNI memiliki satuan elit yang handal. Luhut menyebut, ada Kopassus dari Angkatan Darat, Denjaka dari Angkatan Laut, dan Detasemen Bravo yang tergabung dalam Pasukan Khas Angkatan Udara. Denjaka, lanjutnya, memiliki kemampuan UDT (Underwater Demolition Team). Detasemen ini, katanya, neranggotakan prajurit-prajurit terbaik dari personel Komando Pasukan Katak dan Taifib (Intai Amphibi) Korps Marinir TNI-AL Selanjutnya, Detasemen Bravo mempunyai sejumlah tim yang mempunyai spesialisasi intelijen, berkualifikasi spesialisasi perang kota atau hutan, dan spesialisasi anti teroris. Sementara, Sat-81/Gultor, yang pernah dipimpin Luhut, merupakan satuan inti dari Kopassus. Pasukan ini, sekalipun kecil, memiliki kemampuan tempur tri matra (darat, laut, dan udara). Luhut memang tak terlalu banyak mengungkap tentang seluk beluk pasukan yang pernah dia pimpin itu, karena kekuatannya emang sangat dirahasiakan. Tapi Kopassus sendiri, sekarang tercatat sebagai pasukan elit nomor 3 terbaik dunia di bawah SAS (Inggris), dan Mossad (Israel). Kopassus telah memiliki sejarah menggelar operasi pembebasan sandera di pesawat DC-9 Woyla milik Garuda Indonesia. Operasi penyerbuan yang berlangsung pada Bandara Don Muang Thailand berlangsung sukses dengan semua sandera selamat. Selain itu, Kopassus pernah menggelar operasi pembebasan sandera di kawasan hutan di Mapenduma, Papua pada 1996. “Nah sekarang, apakah sudah ada negosiasi dan seberapa jauh dilakukan? Apakah ada ahli yang melakukannya? Kalau jalan ini sudah dilakukan maka opsi militer perlu ditempuh” tandas Luhut. |
Belum ada tanggapan untuk "Mengintip Kekuatan Anti-teror TNI"
Posting Komentar